G12 – Utang pemerintah terus mengalami lonjakan dalam beberapa waktu terakhir. Terbaru atau per akhir Januari 2021, utang pemerintah sudah menembus Rp 6.233,14 triliun.
Dikutip dari laman resmi APBN KiTa Kementerian Keuangan pada Jumat (26/2), utang pemerintah tersebut naik signifikan dibandingkan posisi utang pemerintah pada akhir Desember 2020 yang sudah mencapai Rp 6.074,56 triliun.
Posisi utang pemerintah per akhir Januari 2021 ini memiliki rasio terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 40,28 persen. Rasio terhadap PDB ini juga meningkat dibandingkan sebulan sebelumnya yang berada di angka 38,68 persen.
Utang pemerintah tersebut paling besar dikontribusi dari penarikan dana lewat Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai Rp 5.383,55 triliun atau mencapai 86,37 persen dari total utang pemerintah.
Rincian SBN yakni SBN domestik sebesar Rp 4.133,38 triliun yang terdiri dari Surat Utang Negara (SUN) sebesar Rp 3.380,5 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebesar Rp 752,88 triliun.
SBN selanjutnya yakni berasal dari valuta asing (valas) dengan nilai utang sebesar Rp 1.250,17 triliun meliputi sebesar Rp 1.000,88 dari SUN valas dan Rp 249,29 triliun SBSN valas.
Pemerintah juga menarik utang dari pinjaman bilateral dan multilateral. Nilai pinjaman pemerintah tersebut per akhir Januari 2021 yakni sebesar Rp 849,59 triliun atau 13,63 persen dari keseluruhan utang pemerintah.
Jika dirinci lebih jauh, pinjaman tersebut berasal dari luar negeri atau utang luar negeri sebesar Rp 849,59 triliun.
Utang luar negeri ini berasal dari pinjaman bilateral sebesar Rp 329,64 triliun, pinjaman multilateral Rp 462,87 triliun, dan commercial banks sebesar Rp 44,54 triliun. Lalu berikutnya pinjaman dalam negeri sebesar Rp 12,53 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa penerbitan utang juga dilakukan dengan strategi oportunistik, yaitu dengan memantau pasar dan memasuki pasar keuangan pada saat kondisi yang kondusif untuk mendapatkan pembiayaan yang efisien.
“Strategi ini diusung pemerintah dengan mempertimbangkan adanya proyeksi pembayaran utang jatuh tempo yang cukup besar di triwulan I dan II 2021,” kata Sri Mulyani dalam paparannya dalam laporan APBN KiTa Februari 2021.
“Capaian ini membuktikan bahwa Indonesia masih tercatat sangat baik dan tepercaya di mata para investor (investment grade),” kata Sri Mulyani lagi.
Sebelumnya dikutip dari Antara, Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan, Indonesia mempunyai kemampuan dalam membayar utang karena rasio pendapatan pajak terhadap utang lebih baik dibandingkan negara lain.
“Kita relatif lebih baik dan rasio penerimaan negara atau penerimaan pajak terhadap utang kita cukup bagus dibandingkan banyak negara,” kata Yustinus.
Ia mencatat selama 10 tahun terakhir (2010-2019), rasio utang pemerintah pusat dijaga mencapai 30 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Kecuali, lanjut dia, pada 2020 persentasenya meningkat menjadi 38,7 persen karena dampak pandemi Covid-19 dengan total utang pemerintah pusat di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencapai Rp 6.074,56 triliun, terdiri dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) Rp 5.221,65 triliun dan pinjaman Rp 852,91 triliun.
Dalam paparannya, rasio pendapatan pajak terhadap utang Indonesia pada 2018 mencapai 38,32 persen, masih lebih baik dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia yang mencapai 21,83 persen, Singapura 11,93 persen.
Bahkan, Thailand mencapai 35,73 persen, Filipina mencapai 36,98 persen dan Brazil mencapai 14,05 persen.
“Kita di bawah Turki, Afrika Selatan tapi kita jauh lebih baik dibandingkan Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina artinya kita punya kemampuan lebih besar dalam membayar utang,” kata Yustinus.
Pemerintah, kata dia, akan menjaga debt service ratio (DSR) agar memiliki kemampuan membayar terutama utang luar negeri.
Adapun DSR pada 2020 mencapai 23,8 persen atau naik dibandingkan 2019 mencapai 18,4 persen karena meningkatnya jumlah pinjaman jatuh tempo sehingga menambah porsi cicilan pokok.
Perkembangan cicilan pokok dan bunga utang pemerintah terjadi lebih banyak pelunasan utang dibandingkan dengan pembayaran beban bunga yang relatif kecil.
Dalam paparannya disebutkan pembayaran pokok utang pada 2020 mencapai Rp 444,14 triliun dan belanja untuk bunga utang mencapai Rp 314,08 triliun.
“Perkembangan cicilan pokok dan bunga utang pemerintah juga relatif stabil, bisa terjaga dengan baik,” kata Yustinus.
Discussion about this post