Gerak12.com- Ala kadarnya. Kata ini tepat mengambarkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2022 yang hanya Rp 18.872,11 atau 0,72 persen, dari tahun 2021 Rp 2.630.162,13 menjadi Rp 2.649.034,24 per bulan.
Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2022 dengan rata-rata nasional hanya naik 1,09 persen adalah dampak ‘kejam’ penetapan UU Cipta Kerja. Suatu angka yang amat rendah jika dibandingkan pertumbuhan ekonomi yang didengungkan, atau angka inflasi rendah yang di banggakan.
Formulasi perhitungan UMP 2022 sudah menggunakan PP No 36 Tahun 2021 sebagai aturan turunan UU Cipta Kerja. Hasilnya secara rata-rata nasional, kenaikan UMP sama sekali tidak signifikan. Provinsi Jambi hanya mengambil proporsi 0,73 persen dari batas 1,09 persen yang digariskan. Kejam memang, tapi inilah implikasi UU Cipta Kerja, tak hanya memiskinkan tapi juga cenderung ” melecehkan “.
Meskipin pahit, ini suatu kemenangan pihak yang pro investasi, meskipun mereka tak sepenuhnya faham konsep investasi yang di dengungkan. Dampak penerapan UU Cipta Kerja dengan turunan aturan PP No 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
UMP secara nasional adalah kenaikan terendah dalam sejarah republik ini. Segelintir kekuatan oposisi di parlemen dan organisasi serikat buruh sedari awal keras menolak UU Cipta Kerja, karena aian berdampak kepada semua pekerja di semua sektor, dan salah satu implikasinya masalah UMP yang rendah.
Sebenarnya sejak tahun 2021 sudah tidak ada peningkapan UMP. Sementara tahun 2022 secara rata-rata kenaikan sangat kecil. Selain itu PP No 36 Tahun 2021 juga mengatur batas atas dan batas bawah penerapan UMP.
Karena dengan formulasi ini setidaknya sudah ada beberapa provinsi yang tidak bisa naik UMPnya karena sudah melebihi batas atas. Sementara di sisi lain batas bawah tidak boleh lebih rendah dari UMP sebelumnya yang pada 2021 diputuskan tidak ada kenaikan dengan alasan pandemi.
Akar masalah kenaikan yang kecil ini adalah ekses formulasi perhitungan UMP yang tidak lagi memasukkan unsur Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagaimana aturan sebelumnya di PP 78/2015 tentang Pengupahan.
Sementara di PP 36/2021 turunan Cipta Kerja hanya fokus mempertimbangkan variabel di luar kebutuhan pekerja seperti kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan yang dimaksud meliputi variabel paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja dan median upah.
Saat ini keputusan ada di tangan gubernur untuk bisa memberikan keputusan yang terbaik, kita harapkan dengan aspirasi yang disampaikan pekerja dan proyeksi kenaikan yang dihitung pemerintah pusat bisa menemukan jalan tengah. UMP adalah salah satu modal untuk konsumsi yang menjadi variabel utama dalam pertumbuhan ekonomi nasional.
Gubernur sebagai kepala daerah bisa menggunakan kewenangannya untuk menaikan upah minimum (UM) dari yang ditetapkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan.
Karena Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memberi kewenangan sepenuhnya kepada kepala daerah untuk menetapkan nilai kenaikan UM di daerahnya.
Apalagi selama ini kenaikan UM yang ditetapkan oleh Kemenaker lebih rendah dari nilai inflasi.
Penting sekali upah minimum di atas nilai inflasi karena jika harga barang meningkat sementara kenaikan pendapatan di bawah harga barang artinya ada pergerusan nilai upah riil.
Di sisi lain, kepala daerah memiliki tanggung jawab untuk memastikan pertumbuhan ekonomi di daerahnya tetap terjaga setiap tahunnya. Artinya, dia mengatakan pertumbuhan ekonomi itu mesti didukung oleh daya beli masyarakat yang juga terjaga.
Dengan peningkatan upah riil kenaikan upah di atas inflasi maka akan mendorong daya beli masyarakat, akan mendorong barang dan jasa lebih cepat lagi di suatu wilayah sehingga mempercepat proses produksi yang baru
Namun menunggu keberpihakan Gubernur juga suatu hal yang tak mungkin, karena di sisi lain, sekarang pemerintah pusat mengancam bakal memberhentikan secara permanen gubernur atau kepala daerah yang tidak mengikuti formulasi penghitungan UM sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang menjadi turunan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Menurut pemerintah sanksi itu diambil untuk memastikan program strategis nasional masalah UM dapat ditaati oleh setiap daerah. Harapannya, penetapan UM yang mengacu pada formula baku dalam PP itu dapat menciptakan iklim usaha yang berdaya saing dan kondusif bagi pengusaha.
Bentuk sanksi administrasi itu di antaranya teguran tertulis, pemberhentian sementara hingga pemberhentian permanen. Adapun, landasan hukum dari sanksi itu tertuang dalam Undang Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Akhirnya, tak salah memang, jika sebagian kalangan menilai, ketentuan penetapan upah minimum ini adalah program strategis nasional, ini bentuk kesewenangan, akan nasib para buruh.
Discussion about this post