Persaingan hebat tidak harus dibangun di atas kebencian. Mereka dibangun di atas rasa hormat, di atas rasa hormat terhadap keunggulan.
(Mike Krzyzewski)
Prolog – Fenomena biasa pasca perhelatan politik baik pilkada hingga suksesi organisasi, tim sukses terjangkit syndrom merasa ditinggalkan, terabaikan, terlupakan atau juga tersisihkan. Setelah kemenangan, tim seolah mengecil terkotak untuk sebuah kepentingan yang tak lagi sama dan seirama.
Tentu saja tulisan ini tidak merujuk pada satu kasus tentang dinamika suatu tim sukses pilkada, baik itu tempat apalagi spesifik tim sukses tertentu. Opini ini dirangkum dari banyak kejadian secara umum terjadi pasca kemenangan pilkada. Kalaupun ada kesamaan kisah hanya suatu kebetulan belaka.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah tim sukses pun tidak ditemukan. Tim Penyukses dianggap lebih tepat karena tim ini berfungsi untuk menyukseskan orang yang belum sukses. Jadi lebih bermakna pada proses, bukan hasil. Sedangkan tim sukses lebih berkonotasi tim yang telah berhasil menyukseskan seorang kandidat. Tulisan ini membahas tentang tim sukses itu.
Perasaaan diabaikan menjadi narasi umum yang kerap terjadi pasca kemenangan. Keluhan tidak dapat bertemu lagi dengan sang calon, setelah mereka bantu habis – habisan. Harapan untuk tetap berada di lingkaran utama serta banyak menerima manfaat setelah kemenangan di raih lambat laun berganti dengan keluhan dan kekecewaan.
Tak luput dari ingatan adalah mereka yang merasa diri ditinggalkan. Mereka merasa jauh sehabis berjuang bersama dalam politik. Ada semacam tindakan eskapis sebab merasa tak dapat apa-apa dari hasil perjuangan politik. Dipikirannya, hanya terlintas pepatah: habis manis sepah dibuang.
Faktanya, setelah pemenangan di raih maka para tim sukses sama sekali tidak mempunyai Power lagi, bahkan untuk bertemu dengan orang yang telah dimenangkannya adalah sesuatu yang sangat sulit, bahkan menjadi hal yang mustahil. Padahal setelah pemenangan, yaitu para Tim Sukses seharusnya menjadi kelompok penekan yang dapat dengan segera menghantarkan seribu satu persoalan. Hal ini karena para tim sukses yang “berperang” dilapangan tidak memiliki mekanisme komunikasi langsung setelah kemenangan calon yang mereka bela.
Meski sebenarnya banyak persoalan – persoalan rakyat yang lebih penting untuk terus dimenangkan daripada kemenangan yang telah diraih. Bahwa tim sukses juga rakyat yang mempunyai mandat sosial, tanggung jawab moral untuk men segera kan perbaikan – perbaikan bagi lapangan ekonomi, lapangan sosial dan lapangan politik.
Pasca perjuangan politik, mesti komunikasi tetap ada. Menang politik tak berarti perjuangan politik itu selesai. Justru, menang politik pertanda perjuangan berat siap menanti di depan mata. Mempertahankan kemenangan itu tidak mudah. Menang berarti realisasi atas semua ide dan pikiran yang telah mendapat persetujuan rakyat. Karenanya, barisan politik mesti tetap utuh, tak usah merasa ditinggalkan. Komunikasi mesti ditinggkatkan karena tanggung jawab politik pasca kemenangan itu berat.
Hanya saja cita – cita ini sulit terwujud karena mekanisme komunikasi melemah setelah menang menjadi titik lemah yang menjadi akar keluhan para tim sukses. Idealnya tim sukses yang berperang dilapangan mampu mengikat para calon yang akan dimenangkan nya untuk dapat terus berkomunikasi dengan mereka, karena mereka juga sebenarnya terhutang janji pada masyarakat. Bukan sekedar kelompok yang mengantar sang pemimpin kelingkaran baru bernama birokrasi dan elut baru hasil seleksi alam dari tim sukses yang bergerak sebelumnya.
Sejatinya, dalam politik, tidak ada yang ditinggalkan, Mereka yang pernah menjadi bagian dari perjuangan politik akan selalu ada dalam ingatan politik. Seorang pemimpin politik menaruh mereka dalam pikiran dan hati. Setiap kisah perjuangan bersama selalu jadi asupan etis untuk saling mengikat. Kisah politik adalah kisah persaudaraan yang terikat dalam ingatan politis, hanya saja karena kepentingan yang berbeda perasaan ditinggalkan itu mengemuka.
Dalam keyakinan tak ada lupa ini, lalu disangkutkan dengan satire politik Pilkada: “kalau jadi, lupa”. Sesuatu yang pasti terjadi, meski secara parsial tak menyeluruh pada semua tim. Pemimpin selalu punya indera etis untuk melihat mana kawan, mana lawan (mana sengkuni). Justru yang bisanya ada adalah politisasi kata “ditinggalkan”, biar bisa menggiring emosi dan persepsi politik publik. Mengutip filsuf Criss Jami, “friends ask you questions; enemies question you”. Akar soalnya cuma satu, miskomunikasi.
Dari kepentingan ini realitas minor politik praktis kita. Lumrah, siapa yang terlibat politik praktis meminta “hak”. Semacam meminta komitmen dari perjanjian yang tak pernah dibuat, tetapi mesti dimengeti. Tak ada makan siang gratis. Saya sudah memberi, saya wajib menerima balasan lebih. Itu biasa dalam politik riil. Tapi biasa juga untuk di ingkari dengan realitas situasi yang berubah.
Sosialis memang, namun itulah politik dalam hal yang paling praktis. Mengutip Harold Lasswell, politik adalah soal “who gets what, when and how”. Mereka yang ikut berjuang dalam politik, pasti menyelipkan kepentingan minornya di bawah kepentingan mayor (bonum commune). Tanpa itu, politik tidak berjalan.
Bagi mereka yang mendapatkan “bagian”, semuanya tidak menjadi soal. Semua akan baik-baik saja. The winner takes all, sang pemenang menikmati semuanya. Mengacu pada skala nasional. All the president men mendapat jatahnya masing-masing. Ada yang dapat jatah Menteri, proyek BUMN, promosi jabatan, tim ahli, penasehat, dubes dan sebagainya. Fenomena ini tak sepenuhnya terjadi dengan apa yang dibuat oleh pemimpin politik, katakanlah Gubernur, Bupati dan Wali kota.
Lantas, apa yang membuat kawan politik merasa terlepas dari rantai kekuasaan? Soalnya, lagi-lagi, adalah komunikasi. Justru pasca kemenangan politik, mereka tak lagi sempat merapatkan barisan. Apa pun keperluan, mesti ada komunikasi. Cukup sapa, lalu sebutkan apa permintaan. Toh, tidak semua apa yang diinginkan diketahui atau dipahami oleh sang pemimpin. Tak perlu malu, apalagi canggung. Perkawanan politik itu sudah jadi bekal, dan kawan pasti tak datang sebagai penyamun.
Dalam politik, sebenarnya pemimpin selalu punya indera etis untuk melihat mana kawan, mana lawan (mana sengkuni). Justru yang bisanya ada adalah politisasi kata “ditinggalkan”, biar bisa menggiring emosi dan persepsi politik publik. Mengutip filsuf Criss Jami, “friends ask you questions; enemies question you”. Akar soalnya cuma satu, miskomunikasi.
Yang tabu dalam politik itu adalah mereka yang berparas “sengkuni”. Posisinya tidak jelas dalam tim sukses Paket A atau B atau C atau D, dan sebagainya. Plintat-plintut. Warna politiknya tidak sesuai dengan pilihan tim politiknya (duri dalam daging tim sukses). Lalu pukul dada ketika ada kandidat lain yang berhasil memenangkan kontestasi politik.
Tim sukses tidak akan pernah melepaskan identitas dirinya sebagai wajah dari pemimpin, oleh karena sudah menjadi keharusan apabila kepentingan masyarakat terpenuhi, maka kepentingan individu akan terpenuhi dan inilah kebahagian hidup manusia sebagai mahluk sosial. Karena persaingan apapun yang terjadi dalam tim sukses, janganlah persaingan yang dibangun atas suatu kebencian.
Discussion about this post