GERAK12 – Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengakui pemerintahan Presiden Joko Widodo susah mendapat dukungan rakyat meski bermodal ambang batas presiden atau presidential threshold (PT) 20 persen.
Hal ini disampaikannya saat menanggapi sejumlah uji materi ambang batas dukungan bagi calon presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Pengalaman Pak Jokowi pada periode pertama (2014-2019) dengan modal 20 persen saja sangat sulit bagi pemerintahan Pak Jokowi mendapatkan dukungan kuat dari rakyat untuk menjalankan pemerintahannya,” ujar dia dilansir dari CNN, Sabtu (8/1).
Lantaran itulah, Hasto menilai angka presidential threshold mestinya perlu ditambah agar pemerintahan berjalan dengan efektif.
“Presidential threshold 20 persen itu seharusnya malah ditambah, seharusnya malah memastikan bagaimana efektivitas pemerintahan itu bisa berjalan dengan baik,” kata dia.
Menurutnya, ambang batas berlaku pada semua bagian kehidupan. Ia syarat skor Uji Bahasa Inggris Sebagai Bahasa Asing (TOEFL) saat masuk perguruan tinggi.
“Tidak bisa kita mengambil jalan pintas meniadakan suatu hal yang secara nature itu sebenarnya diperlukan bagi kepentingan stabilitas dan efektivitas pemerintah itu,” ujar Hasto.
Ambang batas presiden merupakan syarat minimal bagi parpol untuk bisa mencalonkan presiden-wakil presiden. Berdasarkan UU Pemilu, pencalonan hanya bisa dilakukan oleh partai atau gabungan partai yang punya 20 persen suara sah nasional di pemilu terakhir atau 25 persen kursi di DPR.
Sementara, pasangan capres-cawapres dipilih langsung oleh rakyat. Pada periode pertamanya, pemerintahan Jokowi mendapat kritik terkait fokus pembangunan infrastruktur, pengabaian penanganan kasus HAM, hingga pelemahan KPK.
Pada periode keduanya, pemerintahan Jokowi mendapat penentangan lebih keras dari mahasiswa, buruh, para aktivis terkait isu, terutama, omnibus law UU Cipta Kerja.
Sebelumnya, pasal presidential treshold di UU Pemilu digugat sejumlah pihak ke MK. Yang terbaru adalah seorang aparatur sipil negara (ASN) Ikhwan Mansyur Situmeang. Gugatan diterima Mahkamah Konsitusi (MK) dengan nomor 2/PUU/PAN.MK/AP3/01/2022.
Ikhwan mendalilkan presidential threshold melanggar pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Dia meminta MK untuk menghapus pasal tersebut.
Menyatakan pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” bunyi petitum dalam permohonan Ikhwan.
Discussion about this post